Senin, 21 November 2016

wisata di karanggayam

Mengenal Curug Kedondong di Desa Gunungsari

Curug Kedondong (Photo: www.explorekebumen.com)
Curug Kedondong (Photo: http://www.explorekebumen.com)
KARANGGAYAM – Air terjun atau curug Kedondong terletak di Desa Gunungsari kecamatan Karanggayam. Curug ini berjalak sekitar 17 Km berkendara ke utara Kota Karanganyar dan sejauh 26 Km berkendara ke arah barat laut Kota Kebumen. Curug yang juga dikenal dengan sebutan Curug Gunungsari ini memiliki ketinggian sekitar 23 meter. Air di Curug Kedondong tidak mengucur dan terjun melainkan merayap melalui batuan andesit yang berukuran besar. Lokasinya sekitar 450 meter dari permukiman warga terdekat dengan berjalan kaki melewati lahan garapan warga.
Curug Kedondong memiliki suasana alam yang masih sangat alami. Maklum saja, curug ini belum terjamah manusia luar kecuali warga desa setempat. Curug ini berada di batas hutan pinus dengan hutan garapan warga. Jadi, sumber air dari Curug Kedondong merupakan dari aliran sungai di sela sela hutan pinus diatasnya. Sungai yang berarah Barat ke timur tersebut berasal dari bukit bukit di bagian hulunya seperti Bukit Igir Kunir, Bukit Igir Gepuk dan Bukit Batok. Nah, Curug Kedondong berada di bagian timur dari Bukit Batok.
Curug Kedondong tidak memiliki kolam untuk berenang ataupun berendam. Hal tersebut karena dibawah curug hanya terdiri dari bongkahan bongkahan batu. Curug Kedondong juga tidak banyak dikelilingi pohon rindang sehingga akan cukup panas jika harus berlama lama dibawah air terjun saat cuaca panas terik. Namun tak perlu risau, pengunjung tetap bisa berteduh di pohon-pohon dan gubuk yang tak jauh dari curug.
Curug Kedondong bukalah tempat wisata yang dikelola. Bagi pengunjung yang ingin melihat dan merasakan kesegaran air serta pemandangannya harus rela berjalan kaki dan bersusah payah terlebih dahulu. Untuk menuju ke lokasi ini Lintas Kebumen mencoba untuk memberikan rutenya:
Klik untuk memperbesar.
Klik untuk memperbesar.
Rute: Dari Karanganyar mengambil ruas jalan menuju Karanggayam atau melalui Jl. Raya Karanggayam hingga bertemu pertigaan yang tak jauh dari SDN 1 Kalirejo. Ambil jalan ke kanan meskipun arah ke kiri juga bisa. Ambil jalan ke kanan menuju Jl. Raya Logandu, setelah berkendara selama 3 menit atau 2,5 km kemudian akan menemui pertigaan. Lurus ke Desa Logandu dan ke kiri ke desa Gunungsari. Ambilah ke kiri dan ikuti jalan sekitar 2 Km dan belok ke kiri lagi. “Ingat, tidak sampai SDN 1 Gunungsari dan Pasar Soma”
   sumber;https://lintaskebumen.wordpress.com/2015/01/28/mengenal-curug-kedondong-di-desa-gunungsari/

Gemerujug Curug Sikebut

16.30
Curug Sikebut, Karanggayam

“Alam utara Kebumen tiada habisnya menyimpan permata!”. Itulah yang saya percayai selama ini karena memang belum banyak orang yang mengungkap pesona di daerah Kebumen utara. Jauh dan terpelosok menjadi alasan orang malas untuk menyambangi. Kabar yang samar tentang sebuah air terjun di kawasan Kecamatan Karanggayam, daerah Kebumen Utara, lantas menggerakkan saya bersama sahabat saya, Anas, untuk menjelajah ke sana.

“Dik, tahu Curug Sikebut? Masih jauh curug nya?” tanya saya dalam bahasa Jawa Ngapak pada bocah yang kebetulan melintas tatkala tiba di Desa Ginandong, Karanggayam.
“Tahu mas. Masih lumayan jauh. Satu km lagi” jawabnya.

“Bisa jalan ke curugnya?"
Teyeng” jawabnya singkat dengan keluguannya

Haaah.. sudah lama saya tak dengar kata ‘teyeng’. Sengaja saya tidak menerjemahkan pada bahasa Indonesia karena saya begitu tergelitik dengan kata ini. ‘Teyeng’ arti bebasnya adalah ‘bisa’. Terakhir saya dengar kata ‘teyeng’  semasa SMA dulu, tujuh tahun lalu. Masih adanya kata ‘teyeng’ ini bisa mengindikasikan bahwa desa ini masih jauh menyepi dari hiruk pikuk keramaian modernitas.

Lantas, pada rumah penduduk di sebuah pertigaan, saya minta izin menitipkan motor sekaligus meminta  petunjuk ke Curug Sikebut. Dari rumah itu, Sikebut sudah tampak di seberang sana, di dalam hutan yang dilingkupi pepohonan pinus. Saya rasa akan dekat saja kami berjalan kaki. Tidak butuh lama untuk menjangkaunya.
“Ya palingan setengah jam sampai sejam jalan kaki dari sini. Nanti melintasi dua sungai.” ucap ibu pemilik rumah.  

Mendung menggelayut makin kecut. Kami pun bergegas untuk lekas menemui Sikebut. Tadinya kami meragu, takut di tengah perjalanan hujan deras mengguyur.  Tapi, kami sudah datang jauh dan terpelosok sampai di Ginandong, dari pusat kota Kebumen saja sekitar 30 km ke utara melewati jejalanan yang di beberapa titik rusak parah. Kami pun putuskan untuk melanjut.

Alam Kebumen utara di daerah Karanggayam. Banyak ditemui terasering yang eksotis.
Sungai yang mengiringi perjalanan kami. Sejuk dipandang mata.
Curug Ginandong. Curug yang menawan, ditemui saat perjalanan ke Sikebut lewat jalur bawah.

Beruntung kami berjumpa dengan seorang bapak di tengah jalan. Dia akan pergi mengurus ladangnya di tengah hutan tak jauh dari Sikebut. Kami pun berturut jalan bersamanya, membelah pekuburan, melintasi ladang hingga tiba di sebuah sungai. Atas sarannya, saya dan Anas diminta ke kiri, menyisir sungai. Kata dia, lebih mengasyikkan karena ditemui beberapa  curug lain dalam perjalanan ke Sikebut. Yang paling menarik nanti adalah Curug Ginandong. Bapak itu ke kanan. Kami pun berpisah.

Sekarang hanya kami berdua, dua lelaki yang senang bertamasya, alih-alih berpetualang, untuk menemukan tempat-tempat indah di Kebumen, kampung halaman kami yang begitu melimpah potensi tapi sedikit yang peduli menggali, apalagi pemerintah daerah Kebumen itu sendiri. Ciih… ‘Ngrasani’ pemerintah kami sudah lelah, sehingga lebih baik terjun beraksi.

Dari tadi menikmati sejuk suasana perjalanan yang dikawani gemericik sungai, akhirnya kami mendengarkan suara gemerujug. Sempat juga sekedar menatap dari semak-semak suatu rambatan air dari ketinggian. Aha.. kami menyambut semangat. Curug Ginandong pun terpandang begitu anggun dengan ketinggian yang tak terlalu semampai. Curug ini merupakan jatuhnya aliran sungai yang merayapi tebing dengan perlahan. Tingginya paling hanya sekitar 12 meter. Suasana sekitar begitu meromantika dengan hijaunya ladang warga dan rerumputan liar. Sejenak kami pun memesrai panorama sekaligus merehat sekejap. Kami hanya memandang dari ketinggian, tiada gairah untuk turun ke bawah, apalagi jalan menjangkaunya teramat susah.

Perjalanan berlanjut. Kini kami berpisah dengan sungai. Mengitari bukit lalu berjumpa lagi dengan sungai yang lain. Samar-samar Sikebut sudah terlihat. Seorang ibu pencari rumput tampak sedang beristirahat. Kami menyapanya sekaligus bertanya. “Lewat mana Bu kalau ke curug?”. Ah, ternyata jalan yang kami lalui ini salah. Kami harus mendaki lereng curam yang berhiaskan pepohonan pinus untuk menuju setapak tanah yang benar. Semak belukar pun mau tidak mau harus kami terjang. Saya agak terhambat dengan sandal jepit saya yang melicin. Anas lancar-lancar saja karena ia beralas sepatu khas penjelajah.

Suara gemerujug Sikebut kian riuh. Artinya kami makin mendekat. Kini jalanan tidak lagi terjal  karena sudah berada di jalan yang benar.  Tak sampai 5 menit kemudian, kami sudah berada di kaki Curug Sikebut. Sang permata pun telah didapatkan! Voila….

Bercucuran air jatuh pada tebing setinggi 30 meter. Bebatuan besar di bawahnya tak gentar untuk menyambut. Saya di tepinya merasakan percikan-percikan air berpadu dengan sapuan angin dari seberang pandang. Saya duduk menikmati suasana sembari membinasakan lelah. Anas duduk di samping saya sambil berkisah tentang struktur batuan pada tebing Sikebut. Dia jelaskan bahwa ada tiga lapisan batuan, yakni beku, sedimen lalu beku lagi sehingga dapat digambarkan proses terbentuknya kawasan ini selama ribuan bahkan jutaan tahun lalu.

Curug Sikebut menjadi  permata yang jarang terjamah oleh khalayak ramai manusia. Belum banyak yang mengetahuinya. Dilingkupi nyaman oleh paduan hutan pinus milik Perhutani dengan kawasan ladang penduduk setempat. Sikebut tenang mengucur sejak silam tak mati oleh gerusan zaman. Debit air yang stabil meski di musim hujan menjadi pertanda bahwa lingkungan di sana masih lestari.

Menembus semak untuk menuju setapak yang benar.
Curug Sikebut dari dekat. Menikmati percikan air. Segaaar..
Polos dan tanpa ragu meloncat ke kubangan air. Byuuuuur...

Ah, tapi sayang. Walau baru sedikit saja manusia yang datang ke Sikebut, sampah telah ada mengotor di mana-mana. Sedih. Selalu saja, kesadaran pewisata lokal masih kurang untuk menjaga kebersihan di tempat yang indah ini. Anas dan saya pun memulungi sampah untuk dibawa keluar dari kawasan Sikebut. Jaga  kebersihan dong!

Sore mulai menanti sehingga kami pun beranjak pergi. Kami berencana pulang melalui jalur berbeda, yakni jalur atas. Tadi kami berangkat melalui jalur bawah karena untuk menjemput Sikebut tepat di bawah gemerujug airnya. Jalur atas ini untuk meromantika Sikebut dari atas igir-igir bukit. Aha.. Kami berjumpa dengan bocah-bocah yang sedang mandi di sebuah kolam tempat jatuhnya rayapan air di atas bebatuan. Dan, mereka telanjang!

Bukannya takut ketika akan dipotret, mereka malah bangga dengan ketelanjangannya. Berkali-kali mereka bergaya. Berkali-kali juga mereka lompat dari sebuah batuan ke air. Byuuuuuur… Untungnya semua laki-laki. Hanya satu bocah yang mengenakan celana ketika mandi di kubangan. Bocah-bocah yang seusia kelas 1 dan 2 SD ini sedang menunggui paman salah satu bocah itu mengambil rumput di ladang. Saya dan Anas berucap salut dengan keberanian mereka untuk  tetap polos, lugu dan telanjang. Ah, bocah-bocah desa ini begitu menyenangkan tapi menggelikan.

Kami mesti mendaki lereng berumput untuk naik menuju Jalur Atas. Tidak begitu susah, tapi kami mesti berhati-hati. Sesampai di atas, terlihatlah lebih lapang Curug Sikebut dan sekitarnya. Saya makin mencinta pada panorama kawasan Sikebut. Ada kedamaian terasa. Ada kepuasan atas imaji yang indah tiada tara. Di seberangnya, perbukitan Serayu Selatan yang menjadi pembatas Kebumen dan Banjarnegara terlihat melekuk-lekuk, melapis-lapis. Bukankah ini panorama yang pantas atas jerih payah menjangkau daerah ini! 


***
Perjalanan pulang kami dipandu dengan hati riang sehingga tak terasa kami sudah tiba di rumah warga tempat motor kami diparkir. Jujur, tadi sempat ‘blushuk’ salah jalan sehingga  perjalanan pulang ini lebih lama.

Panorama pegunungan Serayu Selatan yang membatas Kebumen dan Banjarnegara
Air merayapi batuan. Segar. Ditemui menjelang Curug Sikebut.
Seorang warga yang saya temui di ladang, memanen dan mencari rumput untuk ternaknya.
“Wah, maeeeen gambare (bagus gambarnya). Sikebut kelihatan juga gambarnya “ ungkap penuh keterkejutan dari Ibu sang pemilik rumah ketika meminta saya untuk membuktikan foto kalau saya  sudah sampai di Curug Sikebut. Dia tadinya tak yakin bahwa kami sampai di Curug Sikebut mengingat medannya tak mudah.

Tapi, tak hanya itu maksud Ibu mengecek foto Curug Sikebut saya.  Dia berkisah bahwa ada seseorang mencoba memotret Curug Sikebut tapi tidak bisa. Gambarnya tidak terlihat, menghitam semuanya. Ah, mendengar kisah itu lalu saya coba mematikan kamera lalu menghidupkan lagi. “Tetap saja ada kok Bu fotonya.”

“Wah berarti masnya ini orang pintar.” jawabnya dengan polos. Saya sengaja tak menanyakan maksud pintar ini dalam hal apa. Apakah ‘orang pintar’ atau pintar dalam artian sebenarnya. Saya berpikiran bisa saja memang kameranya itu salah pengaturan atau juga malah kamera jadul yang tak memiliki layar untuk melihat langsung jepretan. Ah, biarlah apa anggapnya mereka jikalau bagus untuk kelestarian Sikebut.    

Curug Sikebut bagi orang setempat dianggap sebagai tempat keramat. Oleh karena itu, tak banyak penduduk yang sering datang ke sana. Ibu itu terakhir ke Sikebut dua tahun lalu meski rumahnya begitu dekat. Kemudian, dia mengisahkan pernah ada kejadian tak senonoh alias dari muda-mudi di Curug Sikebut, pasangan itu lantas kena azab. Sampai-sampai untuk mengatasinya perlu didatangkan Tetua setempat. Saya tak perlu ceritakan bagaimana kejadiannya karena perbuatan ini sepatutnya hanya boleh dilakukan suami-istri.

Silakan percaya atau tidak! Tapi bagi saya, ini adalah sebuah pesan luhur bahwa menjaga moral di tempat wisata adalah sebuah keniscayaan, sebuah keharusan. Curug Sikebut yang indah bagaikan permata tak boleh dicemari oleh perbuatan amoral dari pengunjung oportunis yang tak bertanggungjawab. Silakan nikmati keindahannya yang sunyi, tapi jangan berbuat maksiat keji!

Curug Sikebut dilihat dari jalur atas bukit.
Sahabat saya yang selalu riang bergembira sepanjang perjalanan
Ayoook Dik, foto dulu!! Pose mereka menantang!!
Aktivitas 'nglukhu' di persawahan Karanggayam. Masih tradisional tapi inilah yang paling efektif untuk sawah berbukit
Di sawah-sawah Karanggayam masih banyak ditemui potret warga mengumpulkan rerumputan untuk ternaknya.
Curug Sikebut
Curug kecil yang banyak ditemui di sekitar Curug Sikebut.
       sumber;http://www.iqbalkautsar.com/2014/01/menjenguk-gemerujug-curug-sikebut.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar